23 September, 2013

CERPEN TANPA GELAR

Terik panas matahari,  sangat terasa. Tahun ini memang menjadi pengalaman pertama bagiku melaksanakan puasa ramadhan di daerah dengan empat musim. Walaupun tak seperti panasnya di daerah padang pasir sana, tapi hal ini cukup menjadi perhatian bila yang jadi pembanding adalah tempat tinggalku di bandung sana. Bayangkan saja suhu udara di Kota Toyama bisa mencapai 40 derajat celcius, siangnya sangat panjang, imsaknya pukul 02.30 dan berbuka puasa pada pukul 20.00 . Matahari yang rajin datang dan malas pergi.
Hari ke-3 puasa, masih seperti biasa. Memang tak berbeda dan tak terasa bahwa hari-hari sekarang adalah bulan ramadhan. Wajar saja disini bukan bagian wilayah yang penduduknya mayoritas islam, bahkan sangat langka kita menemukan muslim disini. Jika kita ingin pergi ke masjid pun jaraknya cukup jauh dari apartemen tempat tinggal. Kurang lebih 2-3 jam perjalanan, itu pun dengan jam berangkat bis yang sudah memiliki jadwal keberangkatan dan menyulitkan untuk menyesuaikan dengan saat-saat sholat termasuk tarawih. Menggunakan taksi hanya akan membuat diri cepat bangkrut, ongkos yang sangat mahal menjadi kendala utama.
Dengan lingkungan seperti ini setidaknya telah mengingatkan ku akan sebuah pelajaran dari seorang guru,
“Menjadi seorang muslim itu berarti menjadikan islam sebagai prinsip hidupnya”
Dan disinilah prinsipku akan di uji.

***

Setelah lulus Sarjana, memang menjadi mimpiku untuk melanjutkan pendidikan ke luar negeri, dan syukur alhamdulillah dengan segala tantangan, akhirnya mimpi itu tercapai. Sesuai target. Ke sebuah negara yang memang layak untuk dicontoh dari aspek perkembangan teknologinya. Inilah Jepang.
Hari ini ada jadwal ketemu dosen di Laboratorium Kampus.
Kondisi disini memang menjadikan tantangan baru bagi umat muslim khususnya pada saat puasa. Dari mulai cuaca, lingkungan, termasuk pula para mahasiswi yang pada saat musim panas seperti ini mereka semakin menjadi dalam hal berpakaian. Puasa memang tidak sempurna jika hanya menahan lapar dan dahaga, dibutuhkan penjagaan terhadap hati dan pandangan ini. Bismillah.
“Astaghfirulloh”
Spontan, pada saat pandangan ini melaju tanpa kontrol pada salah satu dari mahasiswi tersebut. Memang sangat sulit untuk selalu menundukan pandangan di sini. Orang yang seperti mahasiswi tadi pada musim sekarang sangat banyak ditemukan, mereka bertebaran disana-sini. Misalnya tiba-tiba saja muncul di perempatan lampu merah dari arah yang berlainan atau berhamburan keluar dari tempat kerja, supermarket dan toko-toko kecil. Hmm.. semoga Allah mengampuni hamba ini. Disisi lain terlihat sekumpulan mahasiswa yang sedang minum es dengan nikmatnya, aku pun seakan menelan ludah.
“Assalamualaikum” sapa seorang kawan yang mengagetkanku
“waalaikumsalam wrwb, eh Naseer kaifa haluk?”
“bi khoir, alhamdulillah”
Kami pun berbincang-bincang sebentar, seputar basa-basi saja. Karena katanya dia ada janji dengan dosennya. Dia adalah kenalanku pada saat berkunjung ke masjid di Toyama, sama hal nya denganku dia pun termasuk mahasiswa disini. Namun dia mengambil jurusan biologi sedangkan aku memilih jurusan agricultural engineering.
Pada pertemuan pertama kami, seakan saudara lama yang sudah lama tak jumpa. Menyenangkan. Mengharukan. Dia merupakan pelajar dari Suriah, sebenarnya masih ada juga muslim dari negara lainnya, seperti Arab, Mesir, Turki, Malaysia, termasuk Indonesia, dan lainnya. Di awal pertemuanku dengan Naseer sudah banyak hal yang kami ceritakan. Berbekal ilmu di pondok pesantren dulu, percakapan kami pun menggunakan bahasa arab dan kadang dengan bahasa inggris, atau bahasa jepang.
Pembahasan tentang kondisi umat muslim di berbagai dunia menjadi tema yang selalu menarik untuk kita bicarakan. Lebih khusus tentang Suriah, asal negaranya yang sampai sekarang masih terjadi konflik. Dia pun pernah menyampaikan tentang keluarganya yang menjadi korban dari kebengisan rezim disana, walaupun sekarang banyak pula keluarganya yang sudah mengungsi ke negara tetangganya seperti Palestina yang memang sebenarnya tidak jauh berbeda, ada pula keluarganya yang masih berjuang disana menjadi bagian dari barisan para mujahidin disana. Kondisi seperti ini memang tidak dirasakan oleh seluruh umat muslim, padahal muslim dengan muslim yang lainnya itu adalah satu tubuh, jika satu bagian sakit maka yang lainnya pun akan merasakannya. Itulah yang sering menjadi pembahasan kami. Akhir dari pembahasan ini selalu muncul pertanyaan dalam benak ini, mengapa hal itu bisa terjadi? Dan posisiku ada dimana? Penonton atau Penolong?

***

Ada waktu satu jam sebelum melanjutkan penelitian di Laboratorium, aku sempatkan untuk melaju ke perpustakaan. Mencari suasana yang lebih nyaman untuk menahan diri. Tidak seperti biasanya suasana perpustakaan agak sepi. Baguslah. Di sebagian sudut terlihat orang yang sedang fokus membaca, asyik dengan laptopnya, dan ada pula yang memperhatikan mereka, itulah aku. Ku lanjutkan dengan mencari buku ringan yang tidak membutuhkan banyak logika-logika perhitungan, dan tentunya yang bisa ku pahami, maklum belum lancar bahasa jepang.
“THINK GLOBALY, ACT LOCALY”
Satu judul buku yang membuatku penasaran. Dan sepertinya menarik. Di halaman belakang buku, dijelaskan bahwasannya inilah yang membedakan orang besar dan orang biasa, bagaimana ia bisa berpikir secara global dan ia pun merealisasikannya secara lokal. Ku cari tempat duduk untuk setidaknya menghilangkan penasaran terhadap buku ini.
Tak terasa sudah waktu satu jam telah berlalu. Aku pun segera pergi ke Lab. Disana telah hadir rekan penelitianku, Hiro Mashima.
“Hari ini kau masih tidak makan, Andi?” sambil tersenyum ia menyambutku dengan pertanyaan itu.
“ya, begitulah” kami pun tertawa
Hari sebelumnya, ketika kami berada di Lab. dari pagi sampai sore, ia penasaran mengapa aku tidak makan dan minum. Ketika kujawab bahwa sekarang lagi berpuasa, sontak mereka
“Taihen ne?” (kamu tidak takut mati?)
Hehehe...
Memang masih banyak orang Jepang yang tidak tahu tentang Islam, lebih jauh tentang puasa bulan Ramadhan. Namun setelah kujelaskan tentang puasa, bahwa kami sebagai muslim sudah terbiasa dan memang merupakan kewajiban bagi kami, setidaknya mereka paham. Menjadi representasi muslim di negara non muslim memang tidak mudah, ini merupakan tanggung jawab besar. Berusaha menunjukan bahwa berpuasa bukanlah halangan bagi kami untuk tetap produktif, belajar dan bekerja.
Ketika melihat fenomena lingkungan yang jauh dari Islam dan tidak mengenal Islam, sering terpikirkan betapa besar perjuangan para pendahulu kita yang telah mendakwahkan islam ke berbagai penjuru dunia, di mulai dari jazirah arab hingga menguasai dua pertiga dunia (pada saat kejayaan islam). Memang menjadi panutan yang seharusnya bisa kita teruskan perjuangan mereka, dalam meninggikan kalimatulloh di muka bumi ini.
“Prof. Eiichiro Oda tak datang?” tanyaku
“katanya ada urusan keluarga, jadi untuk hari ini dia tidak datang”
“oh”
Beliau adalah dosen pembimbingku, beliau adalah orang yang sangat baik dan terbuka kepada mahasiswa dari luar sepertiku. Terkadang beliau suka mengajak makan dan minum. Namun setelah ia tahu bahwa aku muslim, dan hanya makan yang halal serta tidak minum-minuman yang memabukan, ia pun sangat menghargainya. Itu jugalah yang membuatku semangat untuk menunjukan bahwa syariah islam termasuk puasa tidak mengganggu proses belajar dan penelitian ini.
Biasanya jika pekerjaanku lagi banyak di Lab. Aku berbuka puasa di Lab. juga.  Menariknya kran air disini bisa juga untuk diminum, hal yang tidak ditemukan di tempat asalku. Dan ini memudahkanku dalam menyegerakan berbuka, jika lupa membawa bekal. Namun karena bapak Prof. Tidak hadir dan memang sekarang tidak banyak perkerjaaan, kuputuskan untuk berbuka di masjid Toyama. Sembari ngabuburit di perjalanan.

***

Pukul 18.00 waktu setempat. Aku sampai di masjid Toyama. Andaikan ini Bandung, adzan pasti sudah berkumandang di setiap penjuru masjid. Tapi ini masih di Jepang. Ada sekitar 2 jam lagi untuk berbuka. Dari sejak SMP, lebih tepatnya MTs, Masjid memang menjadi tempat singgah dan tempat favorit ketika istirahat sekolah. Tenang menenangkan, sejuk menyejukan.
Dipelataran masjid terlihat seseorang yang menurut prediksi ku, dia orang Indonesia juga. Kuberanikan diri untuk menyapa duluan.
“Assalamualaikum”
“waalaikumsalamwrwb”
“indonesia?”
“bukan, kami dari malaysia” prediksiku salah
“oh”
Kami pun ngobrol lebih jauh tentang keberadaan kami di jepang, dan ternyata ia senior dariku, selama ini ia sedang penelitian di luar daerah jadi baru ketemu sekarang. Ia pun terlihat senang memiliki teman satu keturunan dan tentunya karena satu keyakinan, Islam. Banyak pelajaran yang aku dapatkan dari pengalaman-pengalamannya merantau di Jepang ini. Terlebih memegang teguh Islam sebagai prinsip hidup.
Tak terasa, waktu pun sudah hampir menjelang adzan maghrib. Terlihat sekitar 50 orang sudah berkumpul di sisi lain pelataran masjid, menunggu adzan dan mempersiapkan ta’jil. Selama bulan Ramdhan disini memang menyediakan ta’jil gratis, dan makan berat gratis. Tetapi itu bukan alasan utama kedatanganku. Makanan yang tersedia pun selalu berbeda, ada yang dengan ciri khas timur tengah, malaysia, indonesia, terkadang pula dicampur dengan ciri khas Jepang.
Berkumpulnya kami disini, seakan mengingatkanku akan seluruh umat muslim di dunia ini, berikut dengan beragam permasalahan yang dihadapinya. Dari mulai pembantaian umat muslim, pengusiran, diskriminasi, hingga penuduhan terorisme. Hal ini menjadi permasalah besar utama umat muslim di dunia ini. Pertanyaan yang sering muncul dari proses berpikir ini adalah:
“Mengapa umat muslim di dunia ini bisa tersekat-sekat oleh yang namanya batas negara?”
Karena berbeda negara, seakan muslim dengan muslim yang lainnya tidak memiliki hubungan. Padahal kan kita ini disatukan oleh akidah islam yang melibihi dari ikatan darah sekalipun.

***

Dalam khutbah sebelum tarawih, sang khatib mengutip perkataan terakhir dari Rosululloh SAW.
 “umatku-umatku”


0 komentar:

Post a Comment

terima