Popularitas menjadi suatu kebutuhan
dalam kehidupan demokrasi, terutama pada saat masa-masa pemilu. Karena dalam
demokrasi yang diperhitungkan itu adalah jumlah kepala tanpa melihat isi
kepalanya. Jadi wajar pula jika dalam negara ini yang bersistem demokrasi,
halal dan haram yang telah ditentukan oleh Allah masih diperdebatkan, batasan
aurat yang tadinya sudah jelas dikaburkan oleh mereka, keharaman minuman keras
dihalalkan oleh mereka, perzinahan pun dilegalkan oleh mereka dan masih banyak
fakta serupa. Dan yang menjadi rujukan perdebatan ini bukan kepada yang Maha
Benar melainkan pada suara mayoritas (sebut: voting #katanyasuararakyat).
Sehingga dalam sistem tersebut pun dikenal statement “suara rakyat
adalah suara Tuhan”. Pertanyaannya Tuhan yang mana? Justru yang terjadi adalah
suara rakyat itulah yang menafyikan suara Tuhan. Statement bodoh, ga logis,
ngaco, menyombongkan diri dihadapan Tuhan, seakan suaranya lebih baik dari
pada Tuhan.
Kembali lagi pada kalimat awal,
terkait popularitas. Terkait jumlah kepala. Hari ini, orang yang turut
memikirkan perpolitikan negara ini dalam konteks semua warga negara bisa
dikatakan minoritas itu pun beragam ada yang berpikir benar dan ingin
membenarkan, adapula yang benar-benar ngawur-ngeblinger. Lalu dimana
posisi yang mayoritasnya?. Mereka itulah yang mungkin beragam pula, ada yang
tergantung keuntungan baginya, ada yang tergantung kenalnya kemana, ada yang
tergantung ramenya opini, ada pula yang acuh, pasrah, terserah bahkan ada juga
yang ada-ada aja.
Bagaimana mereka mau memilih calon,
kalo mereka ga kenal sama calonnya. Maka wajib hukumnya dalam sistem ini untuk
memperkenalkan diri, bahkan kalo menurut saya (melihat fakta) lebih tepatnya
memoles diri, menipu rakyat, menghasut rakyat, agar bisa dikenal, dipercaya
rakyat. (dengan berbagai macam tujuan #katanya baik tapi... ternyata juga fakta
yang ada baiknya pun bukan untuk rakyat umum tapi rakyat khusus (yaitu dirinya,
keluarganya, partainya, yang kata mereka -tapi bukan mulut yang ngomong-
“cukuplah diwakilkan”). Sehingga dilapangan berlaku hukum Tujuan yang baik itu
menghalalkan segala cara. Hukum geblek.
Beramai-ramai para calon itu menjadi
artis, yang paling standar itu ya menjadi artis baligho. –kalo punya duit
banyak- setiap ruas jalan, setiap sudut kota, setiap pintu gerbang pemakaman,
setiap kecamatan, desa harus ada balighonya. Rada naik tingkat, pake iklan di
koran, setiap hari halaman depan. Kelas kakap mainnya sudah merambah dunia
per-TV-an. Bagaikan sebuah barang yang masih tak terjual, habis-habisanlah dia
terus promosi barangnya. Implikasinya duit deui, duit deui. Jangan mimpi
orang miskin ingin jadi presiden ato gubernur dll. Tunggu aja nanti dikasih
duit juga kok, asal ...
Harga yang mahal menjadi ciri dari
pesta demokrasi ini. Untuk pemilihan Gubernur Jawa Barat yang digabung dengan
pemilihan Kepala Daerah Kab. Sumedang, Kota Cirebon dan Kota Sukabumi pada
tanggal 24 Februari 2013 mendatang saja menghabiskan anggaran Rp 1,047 triliun, belum termasuk jika terjadi
pemilihan putaran kedua. (LENSAINDONESIA.COM).
Selain mahal,
syarat akan penipuan pun jadi kebiasaan klasik di dalamnya. Sebagai contoh, kasus DPT fiktif di daerah Karanganyar, Solo, terdapat
302.000 suara yang sudah tercontreng. Pencopotan Kapolda Jatim juga
mengindikasikan adanya upaya terorganisir untuk memanipulasi pemilu (Tangerang
Online, 2009).
Huh, inilah demokrasi.
Ini bukan hanya masalah rezim yang
bermasalah, tapi berakar dari sistem yang bermasalah. Entah darimana asalnya
yang menyatakan demokrasi berasal dari islam, sesuai dengan islam. Pitnah itu.!
Bohong itu!
Dalam Islam kedaulatan itu bukan
ditangan rakyat tapi di tangan Tuhan. Yang berhak membuat hukum itu hanya Tuhan
bukan rakyat.
Maka pergantian rezim beserta sistem adalah satu-satunya SOLUSI.
Membayangkan jika (sebut saja 80%
rakyat Indonesia) tidak ikut serta dalam pesta demokrasi ini. (vulgarnya: GOLPUT)
dan mayoritas disana menginginkan pergantian rezim dan sistem. Maka goyah lah
Indonesia ini. Dalam kondisi tersebut kita senantiasa berdoa nashrulloh itu
akan turun, yaitu tegaknya sistem Islam yang menerapkan syariah islam secara
total, dalam bentuk KHILAFAH ISLAM.
#setiap pilihan itu akan
dipertanggungjawabkan, termasuk memilih pemimpin yang akan melaksanakan sistem
demokrasi, sistem yang bertentangan dengan islam itupun akan
dipertanggungjawabkan. Tentu adalah sebuah pilihan, tidak memilih itu. dengan
dasar bukan itu, bukan itu yang kami pilih. Kami memilih surga-Nya dengan
melaksanakan segala (bukan sebagian-sebagian, bukan hanya sebatas individu)
perintahNya dan menjauhi segala (bukan sebagian-sebagian, bukan hanya sebatas
individu) laranganNya.
#SAMBUT KHILAFAH DENGAN PERJUANGAN
0 komentar:
Post a Comment
terima